UPAYA MEMBERI PERLINDUNGAN BAGI ANAK KORBAN PERCERAIAN ORANG TUANYA DI PENGADILAN AGAMA
Oleh Dr. Drs. H. Dalih Effendy, SH. MESy.[1]
PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan perpaduan dua insan dalam suatu ikatan untuk menjalani hidup besama. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Ketika rumah tangga sudah mempunyai keturunan, sering kali tujuan berumah tangga untuk membangun rumah tangga bahagia tidak lagi tercapai, dan pada akhirnya berujung pada perceraian, pada hal, akhir dari perjalanan berumah tangga seperti itu tidak pernah dicita-citakan.
Angka perceraian di Indonesia pada setiap tahunnya mengalami tren kenaikan yang cukup signifikan. Dr. Kamarudin Amin, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama RI,[2] mengakui akan hal itu. Beliau tidak menafikan data yang dilaporkan Setjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun ini per Agustus 2020 angka perceraian yang dilaporkan oleh Dirjen Badilag MA sudah mencapai angka 306.688 kasus. Dimana angka perceraian di Indonesia pada tahun 2019 berjumlah 480.618 kasus, mengalami kenaikan sebesar 12 % bila dibandingkan tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2018 sebanyak 444.358 kasus.
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Drs. H. Aco Nur, SH. MH., Dirjen Badilag MA RI, dalam Webinar Dialog Internasional tentang Hak-Hak Perempuan dan Anak pasca perceraian di tiga negara, Indonesia, Malaysia dan
Australia, bahwa berdasarkan penelitian Badilag MA RI, AIPJ dan Perguruan Tinggi pada Tahun 2018 dari 447.417 putusan Pengadilan Agama tentang perceraian terdapat 70 % perceraian diajukan oleh pihak isteri, yang disebut Cerai Gugat, hanya 2 % dalam perkara tersebut yang mengajukan hak asuh anak, dan 1 % mengajukan nafkah anak, pada hal dalam kasus perceraian tersebut diperkirakan terdapat 850.000 anak terdampak dari perceraian orang tuanya.[3]. Miss. Leisha Lister, Penasehat Senior AIPJ dalam Keynot Speaker di webinar tersebut mengungkapkan bahwa setiap tahun terdapat 1 (satu) juta anak di Indonesia yang terdampak perceraian orang tuanya, mereka rentan menjadi korban atas sikap abai oleh orang tuanya maupun oleh masyarakat dan Negara.
Pada tahun 2014. Dr. H.Ahmad Choiri, SH. MH.,[4] dalam suatu penelitian yang dilakukannya di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur, menyimpulkan bahwa sikap abai atas perlindungan hak-hak anak korban perceraian orang tuanya bukan hanya dilakukan oleh orang tua anak tersebut melainkan juga oleh hakim pengadilan agama. Alasan yang disampaikan beliau adalah mayoritas majelis hakim yang menangani perkara perceraian yang di dalam perkara tersebut terdapat anak, namun tidak mempertimbangkan sama sekali akan hak-hak anak di dalam putusannya. Sikap abai ini berdalih karena mereka yang bercerai tidak mempersoalkan tentang anak dan apabila hakim dalam memutus perkara perceraian tersebut disertai hak asuh anak maupun nafkah anak akan melanggar asas hukum ultra Petita.[5] Penulis pernah melakukan penelitian yang sama di tahun 2017 terhadap 1000 perkara perceraian di 3 (tiga) Pengadilan Agama yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Hasilnya dapat disimpulkan Antara lain sebagai berikut :
- Dari 1000 perkara tersebut sebanyak 70 % (persen) perkara cerai gugat, sisanya cerai talak.
- Dari 1000 perkara tersebut terdapat 1500 orang anak berusia di bawah 18 tahun, artinya terdapat 150 % (persen) anak di yang rentan menjadi korban perceraian orang tuanya.
- Dari 1000 perkara tersebut hanya 7 % (persen) para pihak berperkara yang mengajukan hak-hak anak pasca perceraian, seperti hak asuh anak, nafkah anak dll.
- Dari 1000 perkara tersebut hanya 1 % (persen) Mediator, baik mediator hakim maupun mediator nonhakim yang berhasil mendamaikan tentang hak-hak anak meski tidak diajukan dalam posita maupun petitum surat gugatan atau permohonan.
- Dari 1000 perkara tersebut hanya 12 % (persen) dalam putusannya, hakim pengadilan agama mempertimbangkan tentang hak-hak anak.
- Dari 1000 perkara tersebut hanya 1 % (persen) dalam putusannya dimuat penerapan hukum dari Undang-Undang Perlindungan Anak, (Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagai mana diubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014).
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama belum melaksanakan secara optimal kewenangannya dalam memberikan perlindungan anak pasca perceraian orang tuanya, sesuai undang-undang perlindungan anak.[6] Pada hal sejatinya hakim pengadilan agama sebagai penegak hukum mewakili negara, harus berani keluar dari zona nyaman, menjadi hakim yang progresif, tidak berdalih yang penting perkara cepat selesai tidak perlu mencari-cari persoalan yang tidak disengketakan oleh para pihak berperkara dan itu hanya menambah beban dalam membuat keputusan. Kinerja hakim pengadilan agama yang mengabaikan perlindungan anak seperti itu dapat diartikan bahwa pengadilan agama di Indonesia kurang berperan dalam memberi perlindungan anak, khususnya anak korban perceraian orang tuanya. Permasalahannya adalah, apa dan bagaimana peran yang bisa dilakukan oleh para hakim pengadilan agama di dalam memberi perlindungan terhadap anak khususnya anak-anak korban perceraian orang tuanya, yang setiap tahun angkanya mengalami peningkatan.
PERLINDUNGAN ANAK KORBAN PERCERAIAN
- 1.Definisi Anak Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Kamus Umum bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. Menurut R.A. Kosnan “Anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya”. Oleh karna itu anak-anak perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk sosial yang paling rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru sering kali ditempatkan dalam posisi yang paling dirugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara, dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-haknya. Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan adalah mereka yang belum berumur 19 tahun. Anak menurut Kitab Udang –Undang Hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dinyatakan orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi yang dimaksud dengan anak dalam tulisan ini adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah.
- 2.Dasar Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia.
Dasar hukum pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, mengacu kepada peraturan perundang-undangan nasional dan internasional. Dasar hukum nasional yang utama adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, yang berisi antara lain tentang definisi anak, tujuan perlindungan anak, hak-hak anak, kewajiban negara, masyarakat dan keluarga.
Di samping Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dengan perubahannya tersebut, terkait dengan perlindungan terhadap anak telah ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait pemidanaan terhadap pornografi anak, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Landasan hukum internasional terkait dengan perlindungan anak yaitu Konvensi tentang Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada Tanggal 20 Nopember 1989. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan, antara lain : Anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus, Meyakini bahwa keluarga, harus diberikan perlindungan dan bantuan yang diperlukan sedemikian rupa sehingga dapat dengan sepenuhnya memikul tanggung jawabnya di dalam masyarakat, Mengakui bahwa anak, harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian, Mempertimbangkan bahwa anak harus dipersiapkan seutuhmya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan solidaritas.
Mengingat bahwa kebutuhan untuk memberikan pengasuhan khusus kepada anak, telah dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa mengenai Hak-hak Anak tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1959 dan diakui dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (terutama dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terutama pasal 10) dan dalam statuta-statuta dan instrumen-instrumen yang relevan dari badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang memperhatikan kesejahteraan anak.
3. Peran Pengadilan Agama Terhadap Perlindungan Anak.
Kebanyakan orang tua yang mengalami pecah (broken) dalam rumah tangganya sehingga berujung ke Pengadilan untuk bercerai, hanya memikirkan kehidupan pribadinya tanpa memikirkan nasib anak-anaknya pasca perceraian. Hal ini dapat diketahui dari tingginya angka perceraian pasangan suami isteri yang telah mempunyai anak, mereka tidak mempersoalkan di pengadilan tentang anak-anak mereka yang rentan terdampak perceraian tersebut. Mereka egois yang penting bercerai dengan pasangannya tidak memikirkan bagaimana nasib anakanak nanti, setelah bercerai nanti akan dipelihara oleh siapa, siapa yang menafkahi, bagaimana pendidikannya, bagaimana biaya kesehatannya dan lain sebagainya.
Sikap abai terhadap anak-anak korban perceraian orang tuanya bukan hanya dilakukan oleh para orang tua anak-anak tersebut, melainkan juga oleh para hakim pengadilan agama ketika menangani perkara perceraian yang terdapat anak di dalamnya. Sebagian besar para hakim yang mengadili perkara perceraian tersebut juga bersikap abai terhadap perlindungan anak korban perceraian orang tuanya. Sikap para hakim tersebut tercermin dari hasil penelitian penulis tersebut di atas, di mana dari 1000 perkara perceraian hanya ada 12 % di dalam putusannya mempertimbangkan tentang hak-hak anak, bahkan hanya 1 % hakim Pengadilan Agama yang memuat ketentuan Undang-undang perlindungan anak, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002 jo. UU Nomor 35 Tahun 2014, di dalam pertimbangan hukumnya pada hal di dalam perkara tersebut terdapat anak yang jadi korban perceraian orang tuanya. Untuk itu perlu ditegaskan dalam tulisan ini mengenai peran pengadilan agama atau hakim pengadilan agama yang menangani perkara perceraian yang di dalamnya terdapat anak untuk memberi perlindungan terhadap anak yang terdampak akibat perceraian orang tuanya.
- a.Perlindungan Anak Dalam Pembuatan Surat Gugatan.
Seseorang yang mengajukan perkara perceraian ke Pengadilan Agama diawali dengan membuat surat gugatan atau permohonan. Surat gugatan tersebut bisa dibuat sendiri, atau melalui kuasa hukumnya atau meminta bantuan pada posbakum yang disediakan di dekat ruang PTSP. Pengadilan Agama. Dalam sesi ini Pengadilan Agama harus mengontrol kinerja petugas posbakum agar setiap kali membuatkan surat gugatan atau permohonan perkara perceraian dan di dalam rumah tangganya terdapat anak, maka diperintahkan agar dimuat baik di dalam posita maupun dalam petitum mengenai hak-hak anak tersebut. Jika memang tidak disengketakan, karena akan dipelihara maupun dinafkahi bersama atau ditanggung sendiri juga harus dimuat penegasan tersebut di dalam posita agar majlis hakim yang memeriksa perkara perceraian tersebut dapat juga menanyakan dan mempertimbangkan di dalam putusan mengenai perlindungan anak. Sejatinya bagi kalangan advokat juga dapat dianjurkan di dalam penyusunan surat gugatan atau permohonan agar persoalan hak-hak anak pasca perceraian orang tuanya supaya dimuat di dalam posita maupun petitum. Dengan demikian bisa jadi setiap perkara perceraian baik cerai gugat maupun cerai talak, yang di dalamnya terdapat anak, dapat dipastikan pengadilan agama akan memeriksa dan mempertimbangkan hak hak anak sesuai undang-undang perlindungan anak.
- b.Perlindungan Anak Dalam Mediasi (perdamaian).
Sebagaimana bunyi Pasal 25 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan bahwa materi perundingan yang dibahas dalam mediasi tidak terbatas pada apa yang termuat di dalam posita maupun petitum. Ini artinya ketika seorang mediator sedang memediasi perkara perceraian yang di dalamnya terdapat anak, namun tidak dimasukkan baik dalam posita maupun petitum mengenai hak-hak anak pasca perceraian orang tuanya, maka mediator harus memberi perlindungan terhadap anak tersebut dengan memediasi jika terjadi perceraian maka akan seperti apa nasib anak-anak mereka. Boleh jadi mediasi untuk tidak jadi bercerai tidak berhasil, namun tentang hak asuh anak, nafkah anak dan lain-lain dapat disepakati dalam mediasi tersebut, sehingga mediasi dilaporkan berhasil sebagian.
- c.Perlindungan Anak Dalam Pemeriksaan Perkara.
Tidak sedikit perkara perceraian yang diputus pada tingkat banding, akhirnya majlis hakim tingkat banding membatalkan putusan hakim tingkat pertama dengan mengadili sendiri dengan perbaikan amar putusan hakim tingkat pertama. Pembatalan tersebut dikarenakan terdapat kurangnya data maupun pertimbangan hukum terkait perlindungan anak. Hakim tingkat banding sering kali menambahkan pertimbangan dengan menerapkan undangundang perlindungan anak No. 23 tahun 2002 jo. UU Nomor 35 tahun 2014, terutama Pasal 14 yang menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hokum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Oleh karena itu sudah seharusnya menjadi kewajiban ketika orang tuanya bercerai di hadapan hakim, maka nasib anak-anak mereka pasca perceraian orang tuanya wajib didalami oleh hakim, bagaimana nasib anak-anak ini ke depan, siapa yang memelihara, siapa yang menafkahi, siapa yang mendidik dan seterusnya.
- d.Perlindunagn Anak Meski Tidak Diminta.
Di dalam Sema Nomor 4 Tahun 2014 pada angka 5 rumusan hukum kamar agama ditegaskan bahwa Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan nafkah anak kepada ayahnya apabila secara nyata anak tersebut berada dalam asuhan ibunya, sebagaimana hal tersebut diatur dalam pasal 156 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.[7] Dengan dasar aturan ini hakim pengadilan agama bisa menyimpangi asas hukum perdata mengenai ultra petitum Partium (hakim tidak boleh mengabulkan sesuatu yang tidak diminta) untuk menghukum ayah dari anak tersebut untuk memberikan nafkah terhadap anaknya meski tidak diminta oleh ibunya, apabila nyata anak tersebut berada dalam pemeliharaan ibunya. Oleh karena itu hakim pada saat memeriksa perkara perceraian, jika ada anak yang rentan akan jadi korban perceraian orang tuanya, dipersoalkan ataupun tidak dipersoalkan mengenai nafkah anak, sudah seharusnya hakim mendalami tentang hal itu. Hakim harus mencari data tentang berapa kemampuan seorang ayah jika akan dibebani untuk membayar nafkah untuk anaknya. Dan semua itu harus dimuat dalam pertimbangan hukum secara jelas.
- e.Perlindungan Anak Berdasarkan The Best Interest Of The Child
Di dalam memeriksa perkara sengketa hak asuh dan nafkah anak, pengadilan agama sejatinya hakim yang memeriksa perkara tersebut selalu berorientasi kepada kepentingan yang terbaik untuk anak. Di dalam memutus perkara tersebut hakim sejatinya memberi pertimbangan yang cukup di dalam putusannya dengan pertimbangan yang berorientasi bukan kepada kepentingan ibu anak tersebut, bukan juga kepada kepentingan ayah anak tersebut melainkan yang lebih utama adalah demi kepentingan yang terbaik untuk anak (the best interest of the child). Seperti perkara sengketa hak asuh anak yang diajukan oleh ibu dari anak perempuan yang baru berumur 7 tahun di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun 20157. Hakim yang memeriksa perkara tersebut memutus hak asuh anak tersebut kepada ayahnya dengan alasan, anak tersebut sudah nyaman tinggal bersama dengan ayahnya dan dirawat sejak umur 3 tahun bersama dengan isterinya yang baru. Bahkan sikap anak yang baru berumur 7 tahun tersebut, nampak asing dengan ibu kandungnya sendir karena sejak umur 3 tahun telah ditinggal pergi oleh ibunya yang bekerja sampai saat gugatan diajukan masih sebagai pramugari yang baru pulang hanya 1 bulan sekali. Jika hanya berpedoman kepada Pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam,[8] anak yang baru berumur 7 tahun tersebut atau belum mumayyiz seharusnya dikabulkan gugatan penggugat yaitu anak dipelihara oleh ibunya, namun hal itu bukan yang terbaik untuk anak tersebut
PENUTUP
Tulisan ini bertujuan untuk memberi isyarat kepada para pimpinan pengadilan agama agar memberi perhatian yang selama ini terabaikan khusus kepada para hakim, para mediator, petugas pos bantuan hukum, kepada para pengacara / advokat dan pelaku hukum keluarga lainnya agar penerapan terhadap undang-undang perlindungan anak dalam kasus sengketa perceraian yang ada anak di dalamnya maupun terhadap sengketa hak asuh dan nafkah anak serta perkara tentang anak berhadapan dengan hukum lainnya, agar lebih ditingkatkan dengan berorientasi kepada kepentingan yang terbaik untuk anak (the best interest of the child) supaya tidak terjadi dampak negatif terhadap anak yang orang tuanya bercerai di pengadilan agama. Dengan adanya perhatian yang lebih progressif oleh pengadilan agama maka dampak negatif terhadap anak korban perceraian di pengadilan agama seperti anak yang defresi, anak yang terlantar, anak putus sekolah, anak jalanan, anak yang nakal dan lain sebagainya, akan berkurang secara signifikan. Hal inilah yang menjadi perhatian para pemerhati persoalan perlindungan anak di Indonesia.
[1] Hakim Tinggi PTA. Bandar Lampung,
[2] Republika.co.id. Jumlah Pernikahan dan Perceraian Lima Banding Satu, Koran on line, tanggal 22 September 2020.
[3] Badilag.net, Dialog Internasional Hak-hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Tiga Negara, Artikel, Tanggal 2 Oktober 2020.
[4] Badilag.net, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Perceraian yang terabaikan oleh Hakim Pengadilan Agama, Ahmad Choiri, Artikel, Edisi Desember 2015.. 1
[5] IPM Ranuhandoko mendefinisikan bahwa ultra petita adalah menjatuhkan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta.(Terminologi hukum).
[6] Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 :”Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak”.
[7] Pasal 156 huruf (f) KHI berbunyi : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. 7 Salah satu perkara sengketa hak asuh anak (hadhonah) yang pernah penulis tangani pada saat menjadi hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2015.
[8] Pasal 105 KHI berbunyi : Dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.